MAKALAH DASAR - DASAR EPIDEMIOLOGI
KEJADIAN LUAR BIASA
(KLB)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata
Kuliah Dasar - dasar Epidemiologi
Disusun oleh:
Retry
Dwirahma G1B014097
Sasmita
Dwi Ramadhani I1A015055
Ayu
Pangesti I1A015071
Safna
Malikha Augustin I1A015091
Pradina
Mutia Abdilla I1A015088
Muhamad
Arifin I1A015106
Kelompok
10
Kelas
A
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN
TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara
berkembang sekaligus memiliki kompleksitas masalah dalam bidang kesehatan. Menurut
Umaroh (2015), Indonesia menyandang Triple Burden Diseases dengan angka
penyakit menular yang masih tinggi, penyakit tidak menular yang terus
berkembang, dan penyakit Re-emerging yang marak terjadi. Penyakit
menular dan Re-emerging disease ini dapat berpotensi sebagai
wabah atau kejadian luar biasa (KLB). Oleh karena itu disiplin ilmu epidemiologi berupaya
menganalisis sifat dan penyebaran berbagai masalah kesehatan dalam suatu
penduduk tertentu serta mempelajari sebab timbulnya masalah dan gangguan
kesehatan tersebut untuk tujuan pencegahan maupun penanggulangannya
Kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia masih cukup menjadi perhatian dunia kesehatan. Hal ini dikarenakan oleh tingginya angka KLB menjadi salah satu indikator kesuksesan upaya preventif bidang kesehatan dalam bidang surveillans epidemiologi. Kondisi ini menyebabkan perlunya peningkatan sistem kewaspadaan dini dan respon terhadap KLB tersebut dengan langkah-langkah yang terprogram dan akurat, sehingga proses penanggulangannya menjadi lebih cepat dan akurat pula. Untuk dapat mewujudkan respon KLB yang cepat, diperlukan bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari para petugas yang diterjunkan ke lapangan. Kenyataan tersebut mendorong kebutuhan para petugas di lapangan untuk memiliki pedoman penyelidikan dan penanggulangan KLB yang terstruktur, sehingga memudahkan kinerja para petugas mengambil langkah-langkah dalam rangka melakukan respon KLB.
Peristiwa bertambahnya penderita atau kematian yang disebabkan oleh
suatu penyakit di wilayah tertentu, kadang-kadang dapat merupakan kejadian yang
mengejutkan dan membuat panik masyarakat di wilayah itu. Secara umum kejadian
ini kita sebut sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), sedangkan yang dimaksud
dengan penyakit adalah semua penyakit menular yang dapat menimbulkan KLB,
penyakit yang disebabkan oleh keracunan makanan dan keracunan lainnya.
Penderita atau yang beresiko penyakit dapat menimbulkan KLB dapat diketahui
jika dilakukan pengamatan yang merupakan semua kegiatan yang dilakukan secara
teratur, teliti dan terus-menerus, meliputi pengumpulan, pengolahan, analisa/interpretasi,
penyajian data dan pelaporan. Apabila hasil pengamatan menunjukkan adanya
tersangka KLB, maka perlu dilakukan penyelidikan epidemiologis yaitu semua
kegiatan yang dilakukan untuk mengenal sifat-sifat penyebab dan faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi terjadinya dan penyebarluasan KLB tersebut di samping
tindakan penanggulangan seperlunya. Hasil penyelidikan epidemiologis
mengarahkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upaya penanggulangan
KLB. Upaya penanggulangan ini meliputi pencegahan penyebaran KLB, termasuk
pengawasan usaha pencegahan tersebut dan pemberantasan penyakitnya. Upaya
penanggulangan KLB yang direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan oleh semua
pihak yang terkait secara terkoordinasi dapat menghentikan atau membatasi
penyebarluasan KLB sehingga tidak berkembang menjadi suatu wabah (Effendi,
2009).
B.
Tujuan
1.
Mengetahui
definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)
2.
Mengetahui
kriteria kerja Kejadian Luar Biasa (KLB)
3.
Mengetahui
klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
4.
Mengetahui
macam-macam penyakit yang dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)
5.
Mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB)
6.
Mengetahui
langkah penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
7.
Mengetahui
langkah penyelidikan epidemiologi Kejadian Luar Biasa (KLB)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Peningkatan frekuensi suatu penyakit yang
relatif besar dalam waktu yang cepat sehingga jumlah penderita melampaui
keadaan normal atau lebih tinggi daripada yang diharapkan atau yang
diperkirakan sebelumnya, pada waktu dan tempat tertentu, disebut Keadaan Luar
Biasa (KLB) (Noor, 2008).
Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010, kejadian luar
biasa adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan/atau kematian
yang bermakna secara epidemiologi pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu
dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.
Selain itu, Menteri
Kesehatan RI (2010) membatasi pengertian wabah sebagai berikut: “Kejadian
berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan
daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka”.
Kejadian Luar Biasa :
Persepsi Risiko Kesehatan. Pemerintah menetapkan status wilayah yang terjangkit
wabah penyakit berdasarkan perhitungan angka kesakitan (morbidity) dan kematian
(mortalitas). Bila di suatu wilayah ditemukan jumlah penderita melebihi jumlah
penderita di bulan yang sama pada tahun lalu di wilayah itu atau angka
kematiannya sudah melebihi 1%, status wilayah itu dinyatakan telah terjadi
Kejadian Luar Biasa (Sinaga, 2015).
B. Kriteria Kerja KLB
Kriteria kerja KLB telah diatur dalam
Kep.Dirjen PPM dan PLP No. 451 I/PD.03.04/1997 tentang Pedoman Penyelidikan
Epidemiologi dan Penanggulangan KLB, yakni sebagai berikut:
1.
Timbulnya
suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal.
2.
Peningkatan
kejadian penyakit atau kematian terus-menerus selama kurun waktu berturut-turut
menurut jenis penyakitnya.
3.
Peningkatan
kejadian atau kematian ≥ 2 kali dibandingkan dengan periode sebelumnya.
4.
Jumlah
penderita baru dalam satu bulan menunjukan kenaikan ≥ 2 kali bila dibandingkan
dengan angka rata-rata perbulan tahun sebelumnya.
5.
Angka
rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukan kenaikan ≥ 2 kali dibandingkan
angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya.
6.
CFR
suatu penyakit dalam tertentu menunjukan kenaikan 50% atau lebih di banding CFR
periode sebelumnya.
7.
Proposional
Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan ≥ 2 kali
dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu atau tahun sebelumnya.
8.
Beberapa
penyakit khusus: Kolera, DHF/DSS daerah endemis (setiap peningkatan kasus dari
periode sebelumnya) dan terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada
periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit
tersebut.
9.
Beberapa
penyakit yang dialami satu atau lebih penderita: keracunan makanan, pestisida,
tetanus, gizi buruk, dipteri.
(Umaroh,
2015).
C. Klasifikasi
KLB
Menurut Bustan (2002), Klasifikasi Kejadian
Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab dan sumbernya, yakni sebagai berikut:
1.
Berdasarkan
Penyebab
a.
Toxin
-
Entero
toxin, misal yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus, Vibrio,
Kholera, Eschorichia, Shigella
-
Exotoxin
(bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum,
Clostridium perfringens
-
Endotoxin
b.
Infeksi
-
Virus
-
Bakteri
-
Protozoa
-
Cacing
c.
Toxin
Biologis
-
Racun
jamur
-
Alfatoxin
-
Plankton
-
Racun
ikan
-
Racun
tumbuh-tumbuhan
d.
Toxin
Kimia
-
Zat
kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain
cyanida, nitrit, pestisida.
-
Gas-gas
beracun: CO, CO2, HCN, dan sebagainya.
2. Berdasarkan Sumber
a.
Sumber
dari manusia
Misalnya:
jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti: Salmonella, Shigella,
hepatitis.
b.
Bersumber
dari kegiatan manusia
Misalnya: toxin dari pembuatan tempe bongkrek,
penyemprotan pencemaran lingkungan.
c.
Bersumber
dari binatang
Misalnya: binatang peliharaan, rabies dan
binatang mengerat.
d.
Bersumber
pada serangga (lalat, kecoak)
Misalnya: Salmonella, Staphylococcus,
Streptococcus
e.
Bersumber
dari udara
Misalnya: Staphylococcus,
Streptococcus virus
f.
Bersumber
dari permukaan benda-benda atau alat-alat
Misalnya: Salmonella
g.
Bersumber
dari makanan dan minuman
Misalnya: keracunan
singkong, jamur, makanan dalam kaleng.
D. Macam
- Macam Penyakit yang Menimbulkan KLB
Menurut Rajab (2008) penyakit-penyakit
tertentu yang dapat menimbulkan wabah yaitu sebagai berikut :
1.
Kolera
2.
Pes
3.
Demam
Kuning
4.
Demam Bolak-balik
5.
Tifus
6.
Demam
Berdarah Dengue
7.
Campak
8.
Polio
9.
Difteri
10. Pertusis
11. Rabies
12. Malaria
13. Influenza
14. Hepatitis
15. Tifus perut
16. Meningitis
17. Ensefalitis
18. Antraks
Adapula menurut dalam Permenkes 560/MENKES/PER/VIII/1989 telah ditetapkan
16 penyakit potensial wabah, yakni: Kholera, Pes, Demam Kuning, Demam Bolak - balik,
Tifus Bercak wabah, DBD, Campak, Polio, Difteri, Pertusis, Rabies, Malaria,
Influenza, Hepatitis, Tifus Perut, Meningitis, Ensefalitis, Antraks (Umaroh,
2015).
a.
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit
Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat
ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan sering muncul sebagai
Kejadian Luar Biasa (KLB). Penyakit DBD sering menimbulkan kepanikan di
masyarakat, karena penyebarannya yang cepat dan berpotensi menimbulkan
kematian. Penyakit ini disebabkan oleh virus
Dengue yang penularannya
melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus yang hidup digenangan air bersih di
sekitar rumah. Umumnya kasus ini mulai meningkat saat musim hujan.
Tahun
2011 jumlah kasus yang dilaporkan dan dinyatakan positif sebanyak 199 kasus dan
4 meninggal orang, (CFR: 2,0%). Dengan demikian dilihat dari indikator CFR,
maka CFR Sambas sedikit di atas indikator nasional (<1%). Kasus DBD tersebar
hampir merata di seluruh kecamatan di Kabupaten Sambas, namun bila dibandingkan
dengan tahun 2010 jumlah kasus DBD mengalami penurunan yang signifikan dengan
angka insiden DBD tahun 2010 39,3 per 100.000 penduduk.
Dalam
penanganan kasus DBD perlu melibatkan dan dukungan semua sektor, baik
pemerintah, masyarakat maupun pihak swasta, dengan gerakan pemberantasan sarang
nyamuk yaitu 3 M (menguras - mengubur - menutup tempat penampungan air). Upaya
lain yaitu melakukan pemantauan rumah / bangunan bebas jentik serta melakukan pengenalan
dini gejala DBD dan penanganannya di rumah.
b.
Diare
Penyakit
diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan, di mana sarana
air bersih dan jamban yang tidak sehat serta perilaku manusia yang tidak sehat
merupakan faktor dominan penyebab penyakit tersebut. Kasus diare dapat
menyebabkan kematian terutama pada saat Kejadian Luar Biasa (KLB).
Pada
tahun 2011 di Kabupaten Sambas terdapat 11.532 kasus dan mengalami peningkatan
dibandingkan dengan tahun 2010. Persentase diare ditemukan dan ditangani tahun
2011 adalah sebesar 22,75%.
Dengan
demikian program penyehatan lingkungan dan kebersihan individu menjadi sangat
penting untuk mereduksi penyakit diare. Penyakit diare dapat dikorelasikan
dengan perbaikan hygiene sanitasi dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
dalam kehidupan sehari - hari serta melibatkan kader dalam tatalaksana diare
karena dengan penanganan yang tepat dan cepat ditingkat rumah tangga, maka
diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus dehidrasi berat yang dapat mengakibatkan
kematian.
c.
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah)
Filariasis
(penyakit kaki gajah) adalah penyakit infeksi menahun (kronis) yang disebabkan
oleh cacing mikrofilaria. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk
yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening yang dapat menimbulkan cacat
menetap (seumur hidup) berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin,
sehingga dapat menimbulkan stigma sosial.
Di
Indonesia kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini dengan
jumlah penderita kronis (elephantiasis) kurang lebih 6.500 orang. Di Kabupaten
Sambas jumlah penderita kronis filariasis berdasarkan laporan terdapat 82 kasus
yang tersebar di 16 kecamatan. Penderita terbanyak di Kecamatan Sejangkung
sebanyak 24 orang, Tekarang sebanyak 15 orang dan Sebawi sebanyak 17 orang.
Angka kesakitan penyakit filariasis tahun 2011 sebesar 16 per 100.000 penduduk.
Upaya
pencegahan dan pemberantasan dilakukan dengan memutus rantai penularan dan
mengobati penderita untuk mencegah infeksi sekunder. Dalam upaya mencapai
eradikasi Filariasis tahun 2020 (WHO), diperlukan alat / sarana yang sensitif
untuk penegakan diagnosis, sehingga penderita dapat ditemukan dalam stadium
dini dan tidak sampai menimbulkan kecacatan.
E.
Faktor - Faktor yang Memengaruhi Timbulnya KLB
Menurut Notoatmojo (2003), faktor yang memengaruhi
timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah:
1.
Herd Immunity yang Rendah
Herd immunity merupakan kekebalan yang dimiliki oleh penduduk yang dapat menghalangi
penyebaran. Hal ini dapat disamakan dengan tingkat kekebalan individu. Makin
tinggi tingkat kekebalan seseorang, makin sulit terkena penyakit tersebut.
2.
Patogenesitas
Patogenesitas
merupakan kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu
sehingga timbul sakit.
3.
Lingkungan
yang Buruk
Seluruh kondisi di
sekitar organisme yang memengaruhi kehidupan ataupun perkembangan organisme
tersebut.
F.
Penanggulangan KLB
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD - KLB) yang
dimaksud Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani
penderita, mencegah perluasan kejadian dan timbulnya penderita atau kematian
baru pada suatu KLB yang sedang terjadi. Program penanggulangan KLB adalah
suatu proses manajemen yang bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah
kesehatan masyarakat (Sulistyaningsih, 2011).
Penanggulangan KLB dilaksanakan dengan adanya
SKD - KLB yang memiliki tujuan umum yaitu terselenggaranya kewaspadaan dan
kesiapsiagaan terhadap kemungkinan terjadinya KLB. Serta memiliki tujuan khusus
yaitu:
1)
Identifikasi
atau Kajian Epidemiologi Ancaman KLB
Untuk mengetahui
adanya ancaman KLB, maka dilakukan kajian secara terus menerus dan sistematis
terhadap berbagai jenis penyakit berpotensi KLB dengan menggunakan kajian:
-
Data
surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB;
-
Kerentanan
masyarakat seperti status gizi yang buruk, imunisasi tidak lengkap, personal hygiene yang buruk dll;
-
Kerentanan
lingkungan seperti sanitasi dan lingkungan yang jelek;
-
Kerentanan
pelayanan kesehatan seperti sumberdaya, sarana dan prasarana yang rendah atau kurang memadai;
-
Ancaman
penyebaran penyakitberpotensi KLB dari daerah lain;
-
Sumber
data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi.
Sumber
data surveilans epidemiologi penyakit meliputi: laporan KLB/wabah dan hasil
penyelidikan KLB, data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya, surveilans
terpadu penyakit berbasis KLB, serta sistem peringatan dini KLB di rumah sakit.
Sedangkan sumber data lain dalam jejaring surveilans
epidemiologi meliputi:
a.
Data
surveilans terpadu penyakit
b.
Data
surveilans khusus penyakit berpotensi KLB
c.
Data
cakupan program
d.
Data
cakupan program tersebut diantaranya adalah
e.
Data lingkungan
pemukiman, perilaku masyarakat, pertanian, meteorologi dan geofisika
f.
Informasi
masyarakat sebagai laporan kewaspadaan dini
g.
Data
terkait lainnya (Kristina, 2014).
2)
Peringatan
Kewaspadaan Dini KLB
Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau terjadinya
peningkatan KLB pada daerah tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3 - 6
bulan yang akan datang) dan disampaikan kepada semua unit terkait di Dinkes
Kab./Kota, Provinsi dan Depkes RI, sektor terkait dan masyarakat sehingga
mendorong peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB di unit
pelayanan kesehatan dan program terkait serta peningkatan kewaspadaan
masyarakat perorangan dan kelompok. Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga
dilakukan terhadap penyakit berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5
tahun yangakan datang) agar terjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat
dijadikan acuan perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB
(Sulistyaningsih, 2011).
3)
Peningkatan
Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB
Kewaspadaan dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap KLB
meliputi peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB,
peningkatan kegiatan surveilans untuk deteksi dini KLB, penyelidikan
epidemiologi adanya dugaan KLB, kesiapsiagaan menghadapi KLB dan mendorong
segera dilaksanakan tindakan penggulangan KLB (Sulistyaningsih, 2011).
-
Deteksi
Dini Kondisi Rentan KLB.
Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan
kewaspadaan terhadap timbulnya kerentanan masyarakat, lingkungan, perilaku dan
pelayanan kesehatan terhadap KLB dengan menerapkan cara - cara surveilans
epidemiologi atau Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) kondisi rentan. Hal ini
dapat dilakukan dengan: (1) Identifikasi kondisi rentan KLB, secara terus - menerus
perubahan kondisi lingkungan, kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan,
kondisi status kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan KLB di daerah,
(2) Pemantauan wilayah setempat kondisi rentan KLB. Setiap sarana pelayanan
kesehatan merekam data perubahan kondisi rentan KLBmenurut Desa/Kelurahan atau
lokasi tertentu lainnya, menyusun tabel dan grafik PWS kondisi rentan KLB.
Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus - menerus dan secara sistematis
untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB, (3) Penyelidikan dugaan
kondisi rentan KLB. Penyelidikan tersebut dapat dilakukan: Di sarana kesehatan
secara aktif mengumpulkan informasi kondisi rentan KLB dari berbagai sumber
termasuk laporan perubahan kondisi rentan oleh masyarakat,perorangan atau
kelompok; Di Sarana kesehatan petugas meneliti dan mengkaji data kondisi rentan
KLB, data kondisi kesehatan lingkungan dan perilaku masyarakat, status
kesehatan masyarakat, status pelayanan kesehatan; Petugas kesehatan
mewawancarai pihak - pihak terkait yang patut diduga mengetahui adanya
perubahan kondisi rentan KLB; Mengunjungi daerah yangdicurigai terdapat
perubahan kondisi rentan (Kristina, 2014).
-
Deteksi
Dini KLB.
Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya
KLB dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah setempat
terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan dugaan KLB: (1)
Identifikasi kasus berpotensi KLB. Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke
UPK diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain disekitar tempat tinggal
kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan kasus; (2) PWS penyakit berpotensi
KLB. Setiap UPK melakukan analisis adanya dugaan peningkatan penyakit dan
faktor risiko yang berpotensi KLB diikuti penyelidikan kasus; (3) Penyelidikan
dugaan KLB. Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara: Di UPK setiap
petugas menanyakan kepada setiap pengunjung UPK tentang kemungkinan adanya
peningkatansejumlah penderita yang diduga
KLB pada lokasi tertentu; Di UPK setiap petugas meneliti register rawat
jalan dan rawat inap khususnya yang berkaitan dengan alamat penderita, umur dan
jensis kelamin atau karakteristiklain; Petugas kesehatan mewawancarai kepala
desa atau pihak yang terkait yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya
peningkatan kasus yang diduga KLB; Membuka pos pelayanan di lokasi yangdiduga
terjadi KLB; Mengunjungi rumah - rumah penderita yang dicurigai memunculkan KLB
(Kristina, 2014).
-
Deteksi
Dini KLB melalui Pelaporan Kewaspadaan KLB oleh Masyarakat
Perorangan dan organisasi yang wajib membuat laporan
kewaspadaan KLB antara lain: Orang yang mengetahui adanya penderita atau
tersangka penderita penyakit berpotensi KLB; Petugas kesehatan yang memeriksa
penderita yangberpotensi KLB; Kepala instansi yangterkait seperti kepala
pelabuhan, kepala stasiun kereta api, kepala bandara udara dll serta UPK
lainnya; Nahkoda kapal, pilot dan sopir (Sulistyaningsih, 2011).
-
Kesiapsiagaan
Menghadapi KLB.
Kesiapsiagaan menghadapi KLB dilakukan terhadap SDM,
sistem konsultasi dan referensi, sarana penunjang, laboratorium dan anggaran
biaya, strategi dan tim penanggulangan KLB serta jejaring kerja tim
penanggulangan KLB Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat (Kristina, 2014).
4)
Tindakan
Penaggulangan KLB yang Cepat dan Tepat
Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap kejadian
KLB dapat terdeteksi dini dan dilakukan tindakan penanggulangan dengan cepat
dan tepat, melalui:
-
Advokasi
dan Asistensi Penyelenggaran SKD - KLB, untuk menjaga kesinambungan
penyelenggaraan dengan kinerja yang tinggi.
-
Pengembangan
SKD - KLB Darurat, untuk menghadapi ancaman terjadinya KLB penyakit tertentu
yang sangat serius dapat dikembanghkan dan atau ditingkatkan SKD - KLB penyakit
tertentu dalam periode waktu terbatas dan wilayah terbatas (Kristina, 2014).
G.
Penyeilidikan KLB
Prinsip dasar penyelidikan wabah umumnya
sama, pada penyakit menular dan tidak menular, (khusus untuk penyakit menular
ada beberapa terminologi yang harus dipahami, yaitu: karier, kontak, masa
penularan, menular, infeksi masa inkubasi, subklinis, isolasi, karantina
transmisi, reservoir, sumber penularan, vektor, konvalesent, zoonosis, dan
sebagainya) (Noor, 2008).
Sebelum melakukan penyelidikan, langkah awal
yang harus dilakukan adalah menentukan tujuan penyelidikan KLB. Menurut Weraman
(2010), tujuan utama dari suatu penyelidikan KLB adalah untuk mencegah
meluasnya (penanggulangan) dan terulangnya KLB di masa yang akan datang
(pengendalian), sedangkan tujuan khususnya dengan memastikan diagnosis
penyakit, menetapkan KLB, dan menentukan sumber dan cara penularan.
Menurut Noor (2008), terdapat 3 langkah dalam
penyelidikan KLB, antara lain:
1.
Garis
Besar Pelacakan Wabah / Kejadian Luar Biasa
Keberhasilan suatu kegiatan pelacakan wabah sangat
ditentukan oleh berbagai kegiatan khusus. Pengumpulan data dan informasi secara
seksama langsung di lapangan/tempat kejadian, yang diikuti dengan analisis data
yang teliti dengan ketajaman penelitian merupakan landasan dari keberhasilan
pelacakan. Menurut Weraman (2010), pertimbangan penetapan pelacakannya selain
didasarkan pada perolehan informasi yang akurat juga harus mempertimbangkan
hal-hal lain seperti sumber daya yang ada (dana, sarana, dan tenaga), luas
wilayah KLB, asal sumber KLB, dan sifat penyakit.
Dengan demikian maka dalam usaha pelacakan KLB,
diperlukan langkah-langkah yang merupakan pedoman dasar yang kemudian harus
dikembangkan sendiri oleh investigator (pelacak) dalam menjawab pertanyaan yang
mungkin timbul dalam kegiatan pelacakan tersebut. Walaupun penentuan
langkah-langkah sangat tergantung tim pelacak, namun prinsip dasar seperti
penentuan diagnosis serta penentuan adanya wabah harus mendapatkan perhatian
lebih awal dan harus ditetapkan sedini mungkin.
2.
Analisis
Situasi Awal
Pada tahap awal pelacakan suatu situasi yang diperkirakan
KLB, diperlukan sekurang - kurangnya empat kegiatan awal yan bersifat dasar
dari pelacakan.
a.
Penentuan
/ penegakan diagnosis
Penelitian/pengamatan
klinis dan pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk kepentingan diagnosis.
Laporan awal yang diperoleh harus diamati secara tuntas apakah sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya (perhatikan tingkat kebenarannya yaitu kasus pasti: ada
kepastian pemeriksaan laboratorium serologi, bakteriologi, virologi atau
parasitologi atau tanpa gejala klinis. Kasus mungkin: tanda/gejala sesuai
dengan penyakitnya tanpa dukungan laboratorium. Kasus tersangka: tanda/gejala
sesuai dengan penyakitnya tetapi pemeriksaan laboratorium negatif) (Lapau,
2011). Seperti contohnya wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD), harus
jelas diagnosis secara klinis maupun laboratorium. Hal ini mengingat bahwa
gejala DBD dapat didiagnosis secara tidak tepat, disamping itu, pemeriksaan laboratorium
terkadang tidak cukup hanya satu kali.
Dalam
menegakkan diagnosis, harus ditetapkan kapan seseorang dapat dinyatakan sebagai
kasus. Hal ini sangat tergantung pada keadaan dan jenis masalah yang sedang
dihadapi. Seseorang dapat dinyatakan kasus hanya dengan gejala klinis saja atau
dengan pemeriksaan laboratorium saja atau keduanya. Misalnya wabah diare, bila
kita mengarah pada masalah diare secara umum maka diagnosisnya hanya dengan
gejala klinis saja. Tetapi bial masalah ini diarahkan khusus untuk cholera
Eltor, maka pemeriksaan laboratorium sangat menentukan disamping gejala klinis
dan analisis epidemiologi.
Weraman
(2010) mengemukakan cara diagnosis penyakit pada KLB adalah dengan mencocokkan
gejala atau tanda penyakit yang terjadi pada individu. Pada tahap ini paling
tidak dapat dibuat distribusi frekuensi gejala klinis. Cara penghitungan
distribusi frekuensi dari tanda dan gejala yang ada pada kasus antara lain:
1)
Membuat
daftar gejala yang ada pada kasus
2)
Menghitung
persen kasus yang mempunyai gejala tersebut
3)
Menyusun
urutan menurut frekuensinya
Selanjutnya melakukan uji hipotesis dengan
menyelaraskan pola klinis, laboratoris, dan pola epidemiologis dari kasus yang
ditemukan dengan pengetahuan tentang penyakit tersebut.
b.
Penentuan
adanya wabah
Langkah
ini adalah saat tindakan deskriptif mulai berperan. Sebelumnya harus dipastikan
dulu bahwa memang benar terjadi epidemik (Magnus, 2010). Penentuan adanya wabah
dapat dilakukan dengan melakukan usaha perbandingan keadaan jumlah kasus
sebelumnya untuk melihat apakah terjadi kenaikan frekuensi, artinya apakah
jumlah kasus yang dihadapi jauh lebih banyak dari sebelumnya, atau jumlah kasus
lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya.
Selain
itu perbandingan periode waktu yang terdekat serta periode tahun sebelumnya
untuk mengidentifikasi pola penyakit perlu dilakukan. Contohnya, jika seseorang
melihat jumlah kasus saat musim panas, pada umumnya kasus campak lebih banyak
terjadi daripada di musim lainnya. Di samping itu, juga dapat memeriksa rate
yang disesuaikan menurut usia, jenis kelamin, dan ras untuk melihat apakah ada
perbedaan subpopulasi yang mengalami penyakit dan rate yang disesuaikan dapat
menunjukkan penjelasan alternatif wabah yang memang terjadi (Magnus, 2010).
c.
Uraian
keadaan wabah
Uraian keadaan wabah dapat diuraikan
berdasarkan tiga unsur utama, yakni waktu, tempat, dan orang. Sebelumnya
membuat kurva epidemi terlebih dahulu dengan menggambarkan penyebaran kasus
menurut waktu mulainya timbul gejala penyakit.
Di samping itu, menggambarkan penyebaran sifat epidemi berdasarkan
penyebaran kasus menurut tempat/secara geografis (spot map epidemi). Selanjutnya melakukan perhitungan epidemiologi
seperti perhitungan angka kejadian penyakit pada populasi dengan risiko seperti
umur, jenis kelamin, pekerjaan, keterpaparan terhadap faktor tertentu (misalnya
makanan, minuman atau faktor penyebab lainnya) serta berbagai sifat orang yang
berguna dalam analisis.
3.
Analisis
Lanjutan
Setelah melakukan analisis awal dan menetapkan adanya
situasi wabah, selanjutnya ada beberapa pokok yang perlu diperhatikan pada
tindak lanjut tersebut, yaitu:
a.
Usaha
penemuan kasus tambahan
1)
Pelacakan
ke rumah sakit dan dokter praktek umum setempat untuk mencari kemungkinan
penderita penyakit yang diteliti dan belum termasuk dalam laporan.
2)
Pelacakan
dan pengawasan yang intensif terhadap orang-orang yang tanpa gejala atau gejala
ringan/tidak spesifik, tetapi memiliki potensi menderita atau melakukan kontak
dengan penderita, misalnya penyakit hepatitis.
b.
Analisis
lanjutan
Dilakukan
dengan menambahkan informasi yang didapatkan dan laporan hasil interpretasi
tersebut.
c.
Menegakkan
hipotesis
Berdasarkan
hasil analisis dari seluruh kegiatan, dibuatlah kesimpulan hasil analisis yang
bersifat hipotesis tentang keadaan yang diperkirakan. Kesimpulan dari semua
fakta yang telah ditemukan dan diketahui harus sesuai dengan apa yang tercantum
dalam hipotesis tersebut.
d.
Tindakan
pemadaman wabah dan tindak lanjut
Tindakan
pemadaman wabah diambil berdasarkan hasil analisis dan sesuai dengan keadaan
wabah yang terjadi. Tindakan pemadaman wabah harus disertai dengan berbagai
kegiatan tindak lanjut (follow up)
sampai keadaan normal kembali. Biasanyma kegiatan tindak lanjut dan pengamatan
dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali masa tunas penyakit yang mewabah. Pada
beberapa penyakit yang mempunyai potensi menimbulkan KLB susulan, perlu disusun
suatu program dalam bentuk surveilans epidemiologi, terutama pada kelompok
risiko tinggi.
Pada
akhir setiap pelacakan wabah, harus dibuat laporan lengkap yang kemudian
dikirim kepada semua instansi terkait.
Menurut Hasmi (2011), langkah - langkah yang dapat
dilakukan untuk penyelidikan wabah atau KLB antara lain:
1.
Menetapkan
diagnosis
Melakukan
pemeriksaan klinis dan laboratorium untuk memastikan diagnosa. Selalu
mempertimbangkan apakah laporan permulaan benar dan diperlukan penetapan
kriteria untuk menentukan seseorang kasus.
2.
Menetapkan
adanya suatu wabah
Menunjukkan
adanya kelebihan suatu kasus pada waktu ini dibandingkan dengan waktu - waktu
sebelumnya.
3.
Menguraikan
wabah dalam hubungannya dengan orang, waktu, tempat. Membuat kurva epidemik,
membuat spot map dan tabulasi penyebaran kasus menurut sifat orang, umur, jenis
kelamin, pekerjaan dan lain - lain.
4.
Merumuskan
dan menguji hipotesa terjadinya wabah. Menunjukkan bentuk wabah, apakah dari
orang ke orang atau berasal dari satu sumber. Berdasarkan pengetahuan yang
didapat, kemudian menentukan siapa yang mempunyai risiko tertinggi untuk
mendapatkan serangan penyakit. Mempertimbangkan kemungkinan - kemungkinan
sumber - sumber dari mana penyakit berasal. Membandingkan kasus - kasus dan
penduduk lainnya yang tidak terserang (kontrol) dari segi pemaparan terhadap
sumber yang tersangka. Melakukan uji statistik untuk menentukan sumber
penularan yang mungkin. Bila memungkinkan mengusahakan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikan hasil penyelidikan epidemiologi.
5.
Mencari
kemungkinan adanya kasus - kasus lain yang belum diketahui dan membuat uraian
deskriptif bagi mereka seperti yang sudah dilakukan sebelumnya.
6.
Menganalisis
data.
7.
Menentukan
apakah fakta - fakta yang telah dikumpulkan mendukung hipotesa terjadinya
wabah.
8.
Membuat
laporan penyelidikan wabah yang memuat pembahasan mengenai faktor - faktor yang
menyebabkan wabah, penilaian terhadap usaha - usaha pemberantasan yang telah
dilakukan dan rekomendasi - rekomendasi untuk pencegahan di waktu mendatang.
H.
Contoh Kasus KLB
Menurut Heukelbach (2016), Virus Zika (ZIKV) yang
sebelumnya tidak diketahui oleh sebagian besar dokter, profesional kesehatan
masyarakat, dan pembuat kebijakan di seluruh dunia, kini menyebar dengan cepat di Amerika berasal dari wabah di Brazil. Pada 1 Februari 2016, Organisasi
Kesehatan Dunia mengumumkan Kesehatan Darurat Masyarakat Peduli Internasional,
mengingat meningkatnya jumlah kasus infeksi ZIKV dan hubungan sebab akibat
diduga kuat antara infeksi dan neurologis gangguan ZIKV dan anomali kongenital,
yang telah meningkat baru - baru ini di Brazil. Pada akhir Januari 2016, telah ada
18 negara di benua Amerika dengan kasus asli dikonfirmasi virus Zika.
Virus ZIKV dari famili
Flaviviridae yang ditularkan ke manusia oleh gigitan dari nyamuk dari genus
Aedes. Virus ini terkait dengan flaviviruses lainnya seperti virus demam kuning
(YFV), virus dengue (DENV), dan virus ensefalitis Jepang, namun sebagian besar
mirip dengan virus Spondweni. ZIKV diisolasi untuk pertama kalinya pada tahun
1947 dari monyet rhesus sentinel di hutan Zika dari Uganda selama studi demam
hutan. Modus utama penularan dianggap Vectorial meskipun laporan sebelumnya
telah menunjukkan bahwa virus dapat ditularkan dengan cara lain termasuk
pekerjaan, perinatal, dan hubungan seksual (Heukelbach, 2016).
Ada kasus manusia
periodik dilaporkan dari Afrika dan Asia dalam beberapa dekade intervensi,tapi
itu tidak sampai 2007 bahwa epidemi besar dilaporkan, pada Yap Island, Negara
Federasi Mikronesia. Infeksi Zika
yang kemudian diidentifikasi di bagian lain di Asia, dengan pergeseran ke arah Amerika diramalkan oleh wabah di
Pulau Paskah Mei 2014. Pada Maret 2015, kasus yang diidentifikasi di Bahia, Brazil,
dengan penyebaran yang cepat berikutnya melalui beberapa negara Brazil, dan negara - negara lain di Amerika Selatan dan Karibia : per Januari 2016, kasus lokal menular telah dilaporkan
oleh Pan American Health Organisasi di Puerto Rico dan 19 negara / wilayah di Amerika (Lednicky, 2016).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kejadian luar biasa
adalah peningkatan frekuensi penyakit sehingga jumlah penderita melampaui
keadaan normal yang diperkirakan sebelumnya, pada waktu dan tempat tertentu.
Terdapat 9 kriteria kerja kejadian luar biasa menurut Kep.Dirjen
PPM dan PLP No. 451 I/PD.03.04/1997.
Klasifikasi
Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebabnya yaitu ; Toksin, infeksi,
toksin biologis, dan toksin kimia. Sedangkan berdasarkan sumbernya yaitu ; Sumber
dari manusia, kegiatan manusia, binatang, serangga, udara, permukaan benda,
makanan dan minuman. Ada 18 penyakit yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa
yaitu ; kolera, pes, demam kuning, demam bolak - balik, tifus, demam berdarah
dengue, campak, polio, difteri, pertusis, rabies, malaria, influenza,
hepatitis, tifus perut, meningitis, ensefalitis, antraks. Faktor yang memengaruhi
kejadian luar biasa adalah Herd Imunity yang
rendah, patogenesis, dan lingkungan yang buruk. Langkah dalam penanggulangan
kejadian luar biasa dapat dilakukan dengan kajian epidemiologi, peringatan
kewaspadaan dini, peningkatan kewaspadan dan kesiapsiagaan, dan tindakan
penanggulangan dengan cepat dan tepat. Adapun langkah dalam penyelidikan
kejadian luar biasa yaitu ; menetapkan diagnosis, menetapkan suatu wabah,
menguraikan wabah dalam hubungannya dengan waktu dan tempat, merumuskan dan
menghipotesa terjadinya wabah, mencari
kemungkinan adanya kasus - kasus lain yang belum diketahui dan membuat uraian
deskriptif bagi mereka seperti yang sudah dilakukan sebelumnya, menganalisis
data, menentukan faktor - faktor yang mendukung, serta membuat laporan
penyelidikan wabah.
Daftar Pustaka
Bustan,
2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Effendi, Ferry.
2009. Keperawatan Kesehatan
Komunitas. Jakarta: Salemba Medika.
Hasmi. 2011. Dasar - dasar Epidemiologi. Jakarta:
Trans Info Media.
Heukelbach, Jorg. et al. 2016. “Zika Virus
Outbreak in Brazil”. JIDC (The Journal of
Infection in Developing Countries), Vol. 10(2):116-120.
Kristina. 2014. Sistem
Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB). http://www.diskes.baliprov.go.id/id/SISTEM-KEWASPADAAN-DINI-KEJADIAN-LUAR-BIASA--SKD-KLB-, diakses 13 November 2016.
Lapuu, B. 2011. Prinsip dan Metode Epidemiologi.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Lednicky, John.et
al. 2016. “Zika Virus Out breakin Haitiin 2014: Molecular and Clinical Data”. PLOS
Neglected Tropical Diseases. DOI:10.1371/journal.pntd.0004687.
Magnus,
M. 2010. Buku Ajar Epidemiologi Penyakit
Menular. Jakarta: EGC.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan. Jakarta: (tidak diterbitkan).
Noor,
Nur Nasry. 2008. Epidemiologi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmojo,
Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehatan
Masyarakat: Prinsip Prinsip Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Rajab, W. 2008. Epidemiologi untuk Mahasiswa Kebidanan.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Sinaga, N, Siti. 2015. “Kebijakan Penanggulangan Penyakit
Demam Berdarah Di Indonesia”. Jurnal
Ilmiah “Research Sains”. Vol 1: 1.
Sulistyaningsih,
2011. Epidemiologi dalam Praktik
Kebidanan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Umaroh, A.K., Badar, K., Dwi, A.
2015. “Kejadian Luar Biasa (KLB) BDB Berdasarkan Time, Place, Person di
Puskesmas Boyolali (2011-2013)”. University
Research Colloquinum. ISSN 2407-9189. Semarang: Kesehatan Masyarakat FIK
UMS.
Weraman, P. 2010. Dasar Surveilans Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: Gramedia Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar